Kemajuan zaman dan perkembangan teknologi secara nggak langsung membuat paham hidup sederhana dan cinta lingkungan mulai jarang terlihat di kehidupan masyarakat kota saat ini. Kenyataan itu sangat bertolak belakang dengan pemandangan sehari-hari di Desa Kanekes, tempat Suku Baduy tinggal.

Orang Kanekes atau orang Baduy adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Sebutan “Baduy” merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau “orang Kanekes” sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo.

Wilayah kanekes bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung. Tidak heran bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa sunda dialek Sunda-Banten. Namun mereka juga lancar menggunakan Bahasa Indonesia ketika berdialog dengan penduduk luar.

Suku Baduy sendiri terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka (Permana, 2001). Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Baduy Dalam. Yaitu kelompok Baduy yang paling ketat mengikuti adat mereka. Terdapat tiga kampung pada kelompok Baduy dalam yaitu: Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Ciri khas orang Baduy Dalam adalah mereka mengenakan pakaian yang berwarna putih alami dan biru tua serta mengenakan ikat kepala putih. Kelompok yang kedua adalah Baduy Luar atau dikenal sebagai kelompok masyarakat panamping. Yang berciri mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam. Dan tersebar mengelilingi wilayah Baduy Dalam seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Lain halnya kelompok ketiga disebut dengan Baduy Dangka, mereka tinggal di luar wilayah Kanekes tidak seperti Baduy Dalam dan Luar. dan saat ini hanya 2 kampung yang tersisa yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam).

Baduy Luar dan Baduy Dalam memang beda, tapi mereka sama-sama selalu menjunjung tinggi adat istiadat.

Baduy 2

Adat nomor satu di atas segalanya via tripsantai.com

Baduy Luar dan Baduy Dalam punya peraturan adat yang berbeda. Salah satu contohnya, masyarakat Baduy Luar diperbolehkan memakai pakaian modern seperti kaos oblong atau celana jeans, sedangkan Baduy Dalam diwajibkan memakai pakaian adat berwarna putih. Meskipun mereka punya aturan yang berbeda, dua golongan ini sama-sama menjunjung tinggi adat istiadat.

Meski banyak berinteraksi dengan dunia luar, sampai saat ini Baduy Luar dan Baduy Dalam masih memegang teguh adat istiadat. Para tamu yang berkunjung ke Baduy juga cuma diperbolehkan membawa kamera sampai perkampungan Baduy Luar. Masyarakat Baduy Dalam mengharamkan kamera, handhone, dan alat elektronik lainnya masuk ke wilayah mereka.

Suku Baduy Dalam memang anti teknologi, tapi bukan berarti mereka selalu menutup diri dari dunia luar.

Baduy 3

Berjalan kaki tanpa alas puluhan kilometer, gimana rasanya ya via beritadaerah.co.id

Suku Baduy memang memegang teguh ajaran leluhur untuk nggak berhubungan dengan teknologi. Mereka nggak diijinkan untuk belajar karena takut pinter. Kalau pinter, nanti keblinger (kebablasan). Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, mereka bertani dan berladang. Setiap musim panen datang, mereka Seba (berkunjung) ke kantor Gubernur Banten di Serang untuk menyerahkan hasil alam sekaligus silaturahmi.

Kalau pekerjaan di kebun tidak banyak, orang Baduy juga sering pergi ke kota besar seperti Serang, Jakarta, atau Bogor untuk menjual madu dan hasil alam lainnya. Uniknya, mereka mencapai tempat tujuan itu dengan berjalan kaki tanpa alas. Biasanya mereka pergi secara rombongan antara 3-5 orang. Hasil penjualan itu biasa mereka pakai untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari di kampung.

Lupakan handphone dan rutinitas kehidupan kota. Baduy adalah tempat yang pas untuk bersatu dengan alam.

Baduy 4

Jembatan pun dibuat dengan bahan dari alam via ibnu-azwar.blogspot.co.id

Kalau kamu berkesempatan mengunjungi Baduy, usahakan untuk memaksimalkan waktu kunjunganmu untuk belajar dari keseharian penduduk setempat. Lupakan handphone dan rutinitas kota. Cobalah untuk menatap alam sekitar, menikmati udara segar, dan suara-suara burung yang bernyanyi riang. Di Baduy sinyal handphone hampir tidak ada, listrik pun belum mengalir ke sana.

Masyarakat Baduy sangat bergantung dengan alam. Mereka menjadikan sungai sebagai sumber kehidupan utama seperti untuk mandi, mencuci. Untuk penerangan di malam hari, masyarakat Baduy biasa menggunakan lampu minyak/obor. Sedangkan buat kebutuhan memasak, mereka masak dengan menggunakan tungku yang terbuat dari batu. Masyarakat mengenalnya dengan sebutan hawu.

Banyak pelajaran hidup yang bisa diambil dari Baduy. Mulai dari kesederhanaan sampai cinta lingkungan.

Baduy 5

Suku Baduy hidup berdampingan dengan alam via ceriwis.net

Salah satu pelajaran penting yang bisa kita ambil dari Suku Baduy adalah hidup sederhana dan cinta lingkungan. Sejak awal, leluhur Suku Baduy memang mengharuskan keturunannya untuk hidup berdampingan dengan alam. Mereka hidup dengan bahan-bahan yang ramah lingkungan. Salah satu contohnya, mereka tidak memakai pasta gigi atau sampo saat mandi di sungai.

Kalau dilihat lebih jauh, ternyata peraturan dan larangan yang dibuat dalam kehidupan mereka memang bertujuan untuk menjaga keseimbangan alam. Mereka sangat menyadari bahwa kehidupan mereka sangat bergantung pada alam. Kalau alam rusak, kehidupan mereka pun akan terancam. Begitu juga dengan kelangsungan hidup anak, cucu, dan keturunan mereka kelak.

Anak Suku Baduy Dalam

Ketika kami berkunjung ke Baduy, kami disambut anak-anak dari Baduy Dalam. Mereka memandu kami untuk menelusuri jalanan setapak menuju Baduy Dalam di Cikeusik. Setelah kami ajak mengobrol, ternyata mereka sudah mulai terkontaminasi dengan teknologi, seperti TV maupun HP. Sesuatu yang cukup ‘diharamkan’ di Baduy Dalam. Tapi mereka bisa mengaksesnya di desa sekitar Baduy yang memang memperbolehkan adanya teknologi.

Meskipun Suku Baduy Dalam masih bisa dikatakan punya kearifan lokal namun ternyata anak-anak mereka sudah sedikit terkena gejala penggunaan teknologi. Kita berharap aja agar keaslian Suku Baduy tetap lestari dan harmoni. Yuk belajar tentang mencintai alam dan pelestarian lingkungan dari Baduy. Jadi, kapan kamu ke sana?