Bukan pintu (Jawa: lawang, red.) tapi jendela dan jumlahnya tidak mencapai sewu (Jawa: seribu, red.)
Berkunjung ke Semarang, belum sempurna rasanya bila belum mampir ke Lawang Sewu. Sebab, bangunan yang hadir di awal abad XX ini bukan sekadar indah dan megah, melainkan juga menyimpan kisah-kisah mistis.
Lawang Sewu (Bahasa Indonesia: seribu pintu, red.) adalah salah satu gedung bersejarah di Indonesia, yang terletak di Jalan Pemuda atau tepatnya Bundaran Tugu Muda, Semarang.
Gedung yang dibangun dari 27 Februari 1904 sampai 1 Juli 1907 ini, dulu merupakan Kantor Pusat Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij (Jawatan Kereta Api Belanda yang beroperasi di Semarang, red.).Masyarakat setempat menyebutnya Lawang Sewu. Karena, bangunan tersebut memiliki jendela tinggi dan lebar yang sangat banyak. Sehingga, masyarakat lebih sering menganggapnya sebagai pintu (Jawa: lawang, red.). Sementara kata sewu yang berarti seribu, hanya untuk menggambar begitu banyaknya “pintu” itu. Sebab, faktanya, jumlahnya tidak mencapai seribu (seorang sumber menyatakan ada sekitar 999 “pintu”, sedangkan seorang sumber lain menyatakan ada 997 “pintu”, red.).
Namun, sebenarnya, bukan jumlah “pintunya” yang sangat banyak saja yang menjadikan Lawang Sewu begitu ingin dikunjungi para wisatawan, melainkan juga kisah-kisah seram di balik setiap bagian dari bangunan itu. Mengingat, bangunan yang pada masa Pemerintahan Belanda di Indonesia disebut Wilhelminaplein ini menjadi saksi bisu kelamnya masa penjajahan baik Belanda maupun Jepang, di mana ribuan pejuang Indonesia yang tertangkap, lalu disiksa dan dibantai di sini.
Konon, dalam bangunan yang dirancang oleh Prof. Jacob F. Klinkhamer dan BJ Ouendag ini, terdapat penjara bawah tanah yang menjadi tempat para tahanan dimasukkan dan dibiarkan berdesak-desakan hingga tewas.
Selain penjara berdiri, begitu istilahnya, di sini ada pula penjara jongkok. Dengan diameter 1,5 m² dan tinggi sekitar 60 cm, penjara jongkok menjadi saksi bisu sadisnya serdadu Jepang membantai para tahanan.
Masih belum cukup sadis, Lawang Sewu juga mempunyai sebuah ruang penyiksaan yang menjadi tempat pemasungan kepala para tahanan di masa penjajahan. Jika para pengunjung memasuki area ini, mereka dapat melihat alat pemasung dan rantai yang masih tersisa. Sehingga, suasana yang sangat mencekam akan terasakan di lokasi ini.
Bukan cuma itu, konon ribuan makhluk gaib dari kuntilanak, genderuwo, hantu berwujud para tentara Belanda, serdadu Jepang, dan hantu Noni Belanda juga bermukim di bangunan ini.
Terutama, di bagian sumur tua, pintu utama, lorong-lorong, penjara berdiri, penjara jongkok, ruang utama, dan di bagian ruang penyiksaan.
Kini, bangunan tua yang indah dan megah ini telah mengalami konservasi dan revitalisasi yang dilakukan oleh Unit Pelestarian Benda dan Bangunan Bersejarah PT Kereta Api Persero. Sementara fungsinya, telah berubah menjadi museum yang dapat dikunjungi pada hari-hari dan waktu tertentu.
Pemugaran dan pengelolaan yang rapi oleh pemerintah setempat menjadikan ikon Semarang ini tidak lagi berkesan angker. Sekali pun, pada malam hari. Kesan yang muncul justru indah, megah, dan terawat, serta layak untuk dijadikan tujuan wisata jika berkunjung ke Kota Lumpia ini.(Russanti Lubis)